Dari Whoosh ke Whoops!

Satu per satu proyek Jokowi mulai terasa membebani. Dari sejumlah bandara hingga Ibu Kota Nusantara (IKN).

Proyek kereta cepat Whoosh (Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat) yang diangankan akan membuat "harum" Indonesia, ternyata tak sewangi promosinya. Proyek yang diorder Jokowi pada 2016 dan awalnya diolah Menteri BUMN Rini Suwandi, digadang-gadang menjadi wajah kemajuan Indonesia. Saat proyek diserahterimakan ke Luhut Binsar Panjaitan, ternyata barang busuk. Whoosh ternyata Whoops!

Proyek prestise gagah-gagahan ini membengkak beaya pembangunannya. Perkiraan awal biaya sekitar 86,67 triliun, namun akhirnya menghabiskan Dana 118,37 triliun. Whoosh meninggalkan utang yang mustahil terbayar dari penjualan tiket. Tapi bukan Lord Luhut jika tidak mampu berdalih, baginya ini cuma masalah restrukturisasi utang. Pernyataannya; “saya terima sudah busuk itu barang,” telah rnenjadi soundbyte media, bahkan tagline populer.

Aneh rasanya, mau menerima barang busuk. Tapi Luhut adalah “powerbroker”, consigliere, kongsi terdekat kepercayaan presiden Jokowi. Tokoh yang selalu hadir di setiap meja makan dan perundingan untuk deal bisnis negara. Dari urusan energi, investasi, tambang, vaksin covid, mobil listrik, hingga kereta cepat. Dia dikenal sebagai menteri segala urusan.

Sebagai pengawal proyek kereta cepat, Luhut menghardik setiap kritikan dan keraguan, termasuk menegur media yang “membesar-besarkan soal biaya yang membengkak (normal dalam proyek besar, katanya)”. Ketika China makin dominan dalam struktur pembiayaan, ia bilang “kita tetap pegang kendali”. Kini, ketika hitungan beaya operational dan beban utang sulit terbayar, ia berkilah, “barang ini sudah busuk waktu saya terima.”

Kereta cepat berteknologi tinggi jelas bukan barang busuk. Yang busuk adalah pemerintahan yang mengadopsi secara memaksakan diri. Siapa yang menginginkan proyek ini, dan benarkah kereta cepat adalah kebutuhan (untuk jarak sependek Jakarta - Bandung). Kegagalan membedakan antara keinginan (personal Jokowi) dengan kebutuhan (publik) adalah awal terjadinya pembusukan. Lebih cilaka, keinginan personal itu dianggap sebagai kebanggaan nasional.

Lesson learned dari proyek Whoosh, pencitraan hanya menghasilkan kebanggaan semu. Indonesia tidak sekonyong-konyong menjadi bangsa maju hanya karena memiliki kereta cepat. Gaya bukan esensi, seperti konsumen Esemka ingin mengendarai Ferrari.

Satu per satu proyek Jokowi mulai terasa membebani. Dari sejumlah bandara hingga Ibu Kota Nusantara (IKN). Proyek Whoosh menyisakan beban utang dan aroma tidak sedap. Perlu segera dilacak dan diungkap sumber kebusukannya. Whoops!

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]