Beberapa hari lalu, pada ruang yang baru diresmikan bernama “Atelier Rasa” di Jakarta Selatan, berlangsung peringatan Hari Pangan Sedunia bertema “bergandengan tangan demi pangan yang lebih baik dan masa depan yang lebih berkelanjutan.”
Ruang ini memadukan konsep plant-based cafetaria, Indonesia cooking school, dan cookbook library —tempat belajar, berbagi rasa, serta menanamkan nilai keberlanjutan.
Komunitas Food Blogger Indonesia, Yayasan Nusa Indonesia Gastronomi, dan Omar Niode Foundation menyelenggarakan diskusi buku “Tradisi Makan Siang Indonesia: Khazanah Ragam dan Penyajiannya.” Buku dwibahasa setebal 500 halaman ini merupakan kolaborasi ketiga komunitas tersebut.
Melalui 40 tulisan dari 17 provinsi di 8 pulau, buku tersebut menampilkan potret ragam kuliner Nusantara. Resep turun-temurun, teknik memasak khas, pilihan wadah penyajian, dan cara menyantap—semuanya menyusun narasi yang menghidupkan kembali makna makan siang yang mencerminkan nilai kekeluargaan, kreativitas lokal, serta daya tahan budaya yang terus beradaptasi.
Buku Tradisi Makan Siang Indonesia mengingatkan bahwa urusan pangan berkelindan dengan keadilan sosial, lingkungan, dan ekonomi. Satu dari dua belas orang di dunia masih menghadapi kelaparan, sementara sekitar 19 persen makanan yang diproduksi setiap tahun terbuang. Setiap suapan membawa konsekuensi: memperpanjang rantai kerusakan, atau menumbuhkan harapan baru melalui pilihan yang lebih bertanggung jawab.
Selain diskusi, acara di Atelier Rasa menghadirkan icip-icip blue food hasil kreasi Chef Ragil Imam Wibowo. Blue food merujuk pada pangan yang berasal dari ekosistem perairan—laut, pesisir, sungai, dan danau—antara lain ikan, rumput laut, moluska, dan krustasea. Di tengah krisis iklim serta menurunnya keanekaragaman hayati, pendekatan ini menghadirkan opsi pangan rendah emisi, kaya protein dan mikronutrien, sekaligus menopang ekonomi masyarakat pesisir dan perairan darat.
Tidak hanya blue food, pengunjung juga menikmati penganan manis dan gurih yang menggunakan “pahangga” yaitu gula aren Gorontalo, sebagai pemanis alami. Produk ini memperkenalkan potensi geofood dari Gorontalo, wilayah yang kaya bahan pangan lokal berkualitas. Gula aren pahangga dikemas dengan daun woka sebagai pembungkus alami yang memberi aroma khas sekaligus membantu pengawetan.
Beberapa kudapan Gorontalo diracik oleh Zahra Khan, pelaku UMKM kuliner yang datang dari Gorontalo, di antaranya popolulu, diniyohu, duduli, tiliaya, kapodo, bi’o, dan bagea. Semuanya menambah sentuhan lembut serta rasa manis alami yang khas, sambil memperkenalkan cita rasa timur Indonesia kepada publik Jakarta. Di hadapan piring kecil yang sederhana, kisah kebun, ladang, pantai, dan pasar bertemu dalam obrolan yang ringan.
Rangkaian kegiatan tersebut memperlihatkan bahwa pesan besar Hari Pangan Sedunia dapat diwujudkan melalui langkah-langkah nyata: memilih pangan lokal dan musiman; merencanakan belanja; menyimpan makanan dengan benar; berbagi ketika berlebih; serta mendukung inisiatif seperti bank pangan dan koperasi petani. Lembaga, sekolah, restoran, dan tempat kerja dapat menetapkan kebijakan pengurangan limbah pangan, mendorong penjualan produk mendekati kedaluwarsa, dan membuka kanal donasi yang sigap.
Di akhir acara, aroma rempah memenuhi ruang Atelier Rasa. Percakapan santai berbaur tawa, menguatkan keyakinan bahwa perubahan besar sering berawal dari hal-hal kecil: satu resep yang dilestarikan, satu porsi yang dihabiskan, satu keputusan yang menunda sampah. Pangan bukan sekadar urusan dapur; ia adalah cermin hubungan manusia dengan alam, sekaligus ukuran hormat kepada sesama. Dalam narasi yang terus tumbuh, setiap hidangan menjadi peluang untuk menjaga keberlanjutan tanpa kehilangan rasa.
Tema global Hari Pangan Sedunia tahun ini menekankan kolaborasi lintas pelaku—petani, nelayan, pelaku usaha kecil, jurnalis pangan, peneliti, dan komunitas kota—agar sistem pangan lebih adil serta tangguh. Atelier Rasa, dengan perpaduan ruang belajar dan dapur praktik, memberi contoh ekosistem mini: resep diuji, cerita ditulis, bahan dipilih dari pemasok yang transparan, sementara praktik pengurangan sampah diterapkan sejak persiapan hingga penyajian. Dari ruang kecil inilah berbagai gagasan terkait pertanian, pangan, dan kuliner diuji secara nyata.