Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, pendekatan berskala besar di ranah global kerap mendominasi perbincangan. Namun, di balik narasi tentang konvensi internasional, teknologi canggih, dan transisi sistemik, terselip satu pendekatan yang justru menjangkau keseharian: microsustainability. Sebuah ajakan untuk kembali ke akar, ke tindakan sederhana yang dilakukan berulang namun dengan kesadaran penuh dan tujuan yang jelas.
Microsustainability tidak hadir sebagai solusi tunggal, melainkan sebagai bagian dari gerakan kolektif yang berangkat dari perubahan perilaku dan tindakan nyata. Bukan tentang revolusi besar, tetapi tentang kebiasaan kecil yang diadopsi secara konsisten. Tidak menuntut kesempurnaan, melainkan menumbuhkan kepekaan. Melalui pendekatan ini, dapat timbul pertanyaan: “Apa yang bisa diubah dalam radius 3 meter dari tempatmu berdiri sekarang?” Dari sana, muncul berbagai aksi mikro yang luar biasa, seperti memulai kompos di tempat kost, mengurangi konsumsi fast fashion di komunitas, atau membuat konten edukasi soal jejak karbon dari makanan sehari-hari. Semua kecil skalanya, tetapi besar dampaknya. Inilah inti dari microsustainability.
Beberapa hari lalu, semangat microsustainability diperkuat melalui Webinar “Microsustainability. Aksi Kecil Dampak Besar” yang diselenggarakan oleh para alumni kelompok 5 dan 13 Reality Tour Jakarta 2005, pelatihan perubahan iklim bersama Al Gore. Webinar ini menghadirkan nara sumber Ketua Working Group Sustainable Mobility yang juga Direktur Eksekutif KPBB serta Leader of River Care Generation. Keduanya berbagi wawasan tentang bagaimana teknologi, kebijakan, dan perubahan perilaku dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim, khususnya dari sisi emisi kendaraan bermotor, dan krisis sampah.
Sebelum webinar berlangsung, selama tujuh hari, para anggota kelompok 5 dan 13 alumni Reality Tour Jakarta mencatat dan mencoba mengubah pola konsumsi pribadi, khususnya terkait dua sumber emisi harian yang dominan: limbah plastik dan mobilitas berbasis bahan bakar fosil.
Kegiatan itu memperlihatkan bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu global, melainkan sesuatu yang meresap hingga ke pilihan mikro. Perhatian terhadap hal-hal kecil menjadi kunci. Bukan karena hal kecil itu sepele, tetapi karena di sanalah fondasi perilaku terbentuk. Konsistensi dalam hal yang sederhana berpotensi melahirkan dampak yang meluas.
Microsustainability juga memberi ruang untuk teknologi yang digunakan secara bertanggung jawab. Kecerdasan buatan (AI) misalnya, bisa digunakan untuk membantu merancang pola mobilitas yang lebih efisien, atau memberikan informasi cepat mengenai jejak karbon dari produk tertentu.
Teknologi tetap harus berpijak pada nilai keberlanjutan yang menempatkan manusia dan alam dalam hubungan yang seimbang. Bantuan AI juga meningkatkan kesadaran tentang ruang hidup masyarakat sendiri. Misalnya, memilih berjalan kaki bukan semata karena sehat, tetapi karena itu bentuk perlawanan terhadap dominasi kendaraan pribadi yang menguras energi fosil. Memilih makanan lokal bukan karena sedang tren, tapi karena sadar bahwa rantai pasok yang pendek artinya lebih rendah emisi dan lebih kuat ekonomi komunitas. Tidak boros listrik, bukan karena ingin hemat tagihan, tetapi karena memberi ruang bagi bumi untuk bernapas.
Microsustainability juga menyentuh hal yang sering luput: ritme dan relasi. Bagaimana kita memperlambat, memperhatikan, dan memperbaiki. Ini bukan gerakan sesaat, tapi cara hidup yang jujur dan konsisten.
Gerakan ini tidak menunggu momen spektakuler. Ia tumbuh dari keseharian, karenanya terbuka untuk siapa saja. Tidak butuh keahlian khusus, tidak pula bergantung pada fasilitas mewah. Yang diperlukan hanyalah kemauan untuk memulai, meski dari langkah yang paling sederhana.
Microsustainability menghadirkan alternatif yang membumi di tengah tantangan besar. Ia tidak menawarkan janji cepat, tetapi menyuguhkan kemungkinan untuk bergerak perlahan dengan arah yang tepat. Dalam dunia yang cenderung terburu-buru dan sarat konsumsi, pendekatan ini menjadi ruang jeda yang penting.
Krisis iklim memang butuh perubahan sistem, tetapi sistem itu tidak akan berubah jika warga tidak bergerak. Dan sering kali, gerakan paling kuat justru dimulai dari langkah bijak dengan satu tindakan kecil setiap kalinya.