Pahlawan Soeharto dan Negara Amnesia

Di Indonesia, saat ini, sejarah sedang ditulis-ulang oleh Menteri Kebudayaan. 

"Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa." Ungkapan Milan Kundera, dalam buku The Book of Laughter and Forgetting (1979), ini aktual untuk mengingatkan Kementerian Sosial yang kembali mengajukan nama Soeharto untuk dikukuhkan sebagai "pahlawan nasional".

Setiap menjelang Hari Pahlawan 10 November, sejak 2010, nama Soeharto sering muncul dalam daftar usulan pahlawan nasional. Dan selalu memunculkan kontroversi pro-kontra di ruang publik. Apakah Indonesia, khususnya kaum pro-pahlawan-Soeharto, mengalami amnesia politik, atau menderita demensia akut? Lupa tragedi kelam sejarah yang mewarnai 32 tahun kekuasaan otoriter Soeharto, sehingga terus berupaya menjadikannya pahlawan?

Untuk Menteri Sosial Syaifullah Yusuf, yang pernah mengalami persekusi saat menjadi aktivis Aliansi Jurnalis Independen di era Orba, memvalidasi usulan kepahlawanan Soeharto sungguh bertentangan dengan nalar dan nurani. Juga bagi kaum amnesia-demensia politik yang mengusulkan, berikut lima alasan kuat mengapa Soeharto tidak layak menjadi pahlawan nasional, secara historis, etis, maupun filosofis:

1) Jejak pelanggaran Hak Asasi Manusia yang masif dan sistemik. Soeharto naik ke kekuasaan melalui jalan kekerasan politik yang dramatik, pembunuhan massal pada 1965 - 1966. Ratusan ribu (bahkan jutaan) warga yang dituduh simpatisan PKI dieksekusi tanpa proses hukum. Ratusan ribu lainnya dipenjara bertahun-tahun tanpa pengadilan, kemudian diberi label ex-tapol, keturunannya diberi stigma "terpengaruh" dan mengalami diskriminasi. Tragedi PKI ini dieksploitasi secara sistemik sebagai situasi “darurat politik” selama 32 tahun. Menjadi pembenaran pendekatan keamanan, kekerasan militeristik, dan represi. Pendekatan politik yang melahirkan berbagai tragedi kekerasan di Timor Timur, Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Papua, dan penembakan misterius (petrus). Kekuasaan Orde Baru berkarakter otoriter-fasistik. Orang yang memiliki jejak sejarah bersimbah-darah dan menindas rakyat saat berkuasa jelas tidak pantas menyandang gelar pahlawan nasional

2) Menyuburkan KKN sebagai Sistem Negara. Era Soeharto adalah masa Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dilembagakan, menjadi pola dan cara kerja "tata kelola" pemerintahan. Keluarga Cendana dan kroninya menguasai sektor bisnis dan ekonomi strategis: dari minyak, semen, jalan tol, telekomunikasi, lahan hingga hutan. Kepentingan politik dan bisnis berkelindan dalam jaringan kolusi-kroni Soeharto, korupsi menjadi budaya dan metode kerja kekuasaan. Orang yang menyuburkan korupsi kolusi nepotisme dan menyalahgunakan kekuasaan, jelas tidak layak dianggap sebagai pahlawan.

3) Membunuh Demokrasi dan Kemerdekaan Berpikir. Soeharto menjaga "stabilitas nasional" dan menggerakkan "pembangunan" di atas pondasi ketakutan, teror, dan sensor. Pers diberangus dan dibredel, partai diseragamkan, LSM dan mahasiswa diawasi. Orang yang bersuara kritis dicap “subversi”. Padahal dasar negara Pancasila dan UUD 1945 menegaskan Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjamin kebebasan bersuara, sebagai landasan berdirinya republik ini. Seorang penguasa yang mengabaikan, bahkan mengkhianati, esensi dasar negara dan aturannya, tidak semustinya diusulkan menjadi pahlawan.

4) Memutarbalikan sejarah dan menebar amnesia kolektif. Melalui kurikulum pendidikan, sensor media, dan indoktrinasi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), Soeharto menciptakan narasi tunggal tentang apa yang benar dan salah; siapa yang baik dan jahat dalam sejarah, dan bagaimana mengelola keberagaman Indonesia. Soeharto menguasai bukan hanya ekonomi, hukum, dan politik, tetapi juga ingatan dan pikiran nasional — menjadikan bangsa ini pengidap amnesia sejarah dan zombie pemikiran. Seorang penguasa yang memanipulasi sejarah, mengontrol pikiran, dan melegitimasi kebohongan kolektif pasti bukan pahlawan.

5) Mengutamakan keluarga, mengabaikan republik. Soeharto dianggap membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, tetapi itu dibayar dengan harga kemanusiaan dan kebebasan. Keluarga dan kroninya menjadi makmur sejahtera, tapi Indonesia tetap terpuruk dalam kemiskinan. Pemimpin sejati mengutamakan hidup jutaan rakyatnya, bukan kepentingan keluarganya. Pembangunan tidak diukur dari berapa jalan atau gedung dibangun, melainkan bagaimana mengangkat rakyat untuk bisa merasakan keadilan, kebebadan, kesetaraaan, selain kesejahteraan. Penguasa yang memperkaya diri dan kroni, membungkam kritik, menindas lawan politik, serta meninggalkan trauma sosial, jelas antitesa sifat kepahlawanan.

Jadi, dengan lima alasan di atas, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah ekspresi kebebalan pikiran, kekosongan nurani dan manifestasi amnesia sejarah. Kaum pro-pahlawan-Soeharto bukan saja ingin melupakan masa lalu, tetapi sedang mengkhianati masa kini, sekaligus menghancurkan masa depan republik.

Menolak Soeharto menjadi pahlawan bukanlah dendam masa lalu, melainkan untuk melawan lupa, sebagai tanggung jawab moral masa kini. Karena jika pelaku kejahatan politik dijadikan pahlawan, yang artinya sosok teladan, maka bangsa ini akan terus mengulang kesalahan sama dengan wajah berbeda (Soeharto berwajah Jokowi atau Prabowo).

Ungkapan Milan Kundera, perjuangan melawan kekuasaan (tirani) adalah perjuangan melawan lupa, sedang terjadi di Indonesia. Perjuangan nalar sehat melawan amnesia sedang berkecamuk. Indonesia sedang kembali diarahkan menjadi museum kebohongan dan manipulasi, ala fasisme Soeharto-esque, yang dipoles dengan tampilan populisme.

Jika Soeharto dikukuhkan sebagai pahlawan maka, artinya, gerakan reformasi 1998 adalah sebuah pengkhianatan, dan segala produk Tap MPR serta amendemen UUD 1945 adalah penggelapan.

The Book of Laughter and Forgetting Milan Kundera adalah elegi yang terjadi di Eropa Timur di bawah totalitarianisme. Tetapi sekaligus peringatan universal: "Bangsa yang melupakan masa lalunya sedang membiarkan tirani lahir kembali dalam wajah baru." Ia mengisahkan bagaimana rezim totaliter menghilangkan nyawa manusia, menghapus orang dari foto sejarah, menghapus arsip, dan mengubah narasi. Mereka tidak hanya membunuh tubuh, tetapi juga mematikan ingatan. Lupa menjadi alat kekuasaan.

Di Indonesia, saat ini, sejarah sedang ditulis-ulang oleh Menteri Kebudayaan. Menulis ulang sejarah dan mempahlawankan Soeharto, agaknya menjadi proyek penting pemerintahan ini, yang bukan cuma omon-omon. Gelar pahlawan nasional pada seseorang mustinya adalah penegasan simbolik representasi keteladan, kebajikan, dan kejelasan moral. Soeharto adalah "semua hal" yang bukan [anything but] dari harapan ideal itu. Ia adalah sumber ketakutan kolektif, dementor penghisap ingatan dan nalar sehat.

Silahkan saja jika para pemuja ingin menganggap Soeharto sebagai pahlawan keluarga Cendana. Ia boleh dipertimbangkan sebagai pahlawan nasional, tapi bukan di NKRI, melainkan di NKRA: Negara Kesatuan Republik Amnesia.

 

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]