Apa pelajaran moral politik dari Peristiwa Pati 13 Agustus? Kekuasaan jangan menentang, apalagi menantang, kehendak rakyat. Khususnya setelah ugal-ugalan melakukan pemerasan dengan menaikkan pajak 250 persen.
Bupati Pati, Sudewo, masih "beruntung" cuma ditimpuk dan mungkin dimakzulkan. Amarah rakyat adalah kekuatan alam, yang seringkali tidak bisa diperkirakan daya hancurnya. Para petinggi politik, lokal atau nasional, sebaiknya membaca referensi sejarah. Jangan bermain retorika ketika rakyat mulai bergejolak, mengabaikan amanah menjadi amarah.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sejarah politik kekuasaan. Rakyat bergolak melawan pemerasan atas nama pajak. Menaikkan pajak semau gue (seperti yang terjadi di Pati, Jombang, Cirebon, Bone, Kabupaten Semarang, dll), adalah kebodohan dan kegilaan kekuasaan level Caligula.
Hanya karena asupan transfer dana dari pusat dipotong 50 persen, sebagian bupati, para raja kecil itu, menaikkan pajak ke rakyatnya hingga ada yang mencapai 1.200 persen. Mereka ogah Dan ridak mampu berpikir kreatif mencari alternatif sumber pendapatan dan pendanaan pembangunan daerah. Karena yang ada di otak mereka cuma, bagaimana mengembalikan modal bisa terpilih menjadi bupati, bahkan mendapat keuntungan. Dan mengumpulkan logistik untuk bertarung lima tahun lagi.
Perlawanan rakyat Pati akan tereplikasi di berbagai wilayah lain. Memghadapi situasi ekonomi yang sulit saat in rakyat tidak punya pilihan selain melawan kegilaan Caligula-Caligula kecil, baik di level lokal maupun nasional.
Peringatan untuk para penguasa zalim yang tak tahu diri. Bacalah sejarah yang bergema dari abad ke abad, yang mencatat setiap pengkhianatan terhadap kehendak rakyat, dan setiap tirani yang menindas hati nurani.
Ingat Caligula, Kaisar Roma yang mabuk kuasa, menganggap dirunya dewa Dan rakyatnya cuma budak. Ia kerap berkata: "Aku berhak melakukan apapun kepada siapapun". Ia mati dengan tebasan pedang yang membelah tubuhnya dan tikaman di sekujur tubuhnya. Kekuasaan lalim selalu berakhir dengan darah.
Ingat Louis XVI, Raja Prancis yang menutup telinga atas jeritan lapar rakyatnya. Istana Versailles berkilau kemewahan ketika rakyatnya berkubang dalam kemiskinan. Rakyat pun bangkit, menggemakan slogan "liberte, egalite fraternite". Dan ia, juga istrinya, mati terpenggal guillotine, sebagai peringatan, mahkota dan segala jubah mewah tak lebih berharga dari segenggam roti di tangan rakyat miskin.
Ingat Dinasti Romanov, Tsar Nicholas II di Rusia. Ia membungkam protes, menembaki rakyatnya yang kelaparan, berunjuk rasa di jalanan Petersburg. Ia mengira tahtanya abadi, tetapi saat revolusi datang, seluruh dinastinya habis seketika. Pembalasan rakyat sering tak mengenal belas kasihan.
Rakyat menjungkalkan penguasa lalim bukan cuma terjadi di era kekaisaran dan kerajaan, namun juga di era modern, abad 20. Ingat Benito Mussolini, diktator Itali, mati digantung rakyatnya di tiang kota. Ingat Nicolae Ceaușescu, diktator Romania, berteriak minta ampun setelah rezim komunisnya tumbang, tetapi peluru rakyat tetap menembus tubuhnya. Ingat Shah Mohammad Reza Pahlavi Raja Iran yang beegelimang harta dari hasil minyak, mati terusir di pengasingan. Ingat Ferdinand Marcos, presiden Filipina, harus lari terbirit-birit ke Hawaii, meninggalkan amarah rakyatnya yang terjerembab dalam kemiskinan.
Ingat Gotabaya Rajapaksa, Presiden Sri Lanka, di tahun 2022 harus melarikan diri dari istana ketika rakyat menyerbu, marah karena perut kosong dan korupsinya. Ingat Sheikh Hasina Perdana Menteri Bangladesh, setelah 15 tahun berkuasa, terpaksa kabur karena istananya diduduki mahasiswa dan rakyat yang marah pada rejim korupnya.
Dan Ingat Suharto, penguasa Indonesia 32 tahun, yang nasibnya sedikit beruntung karena memilih mundur. Ia yang mengaku "tak punya satu sen pun uang simpanan", tapi keluarganya hidup bergelimang harta. Ia tidak jadi diadili karena menderita dementia. Rakyat Indonesia masih punya belas kasihan padanya.
Itulah hukum besi sejarah: bila penguasa mengabaikan jeritan rakyat, cuma mengenyangkan dan menyenangkan diri, maka amarah akan menggumpal. Menjadi gelombang perubahan yang bakal menggilas apa saja yang menghalang. Tidak ada tembok istana atau senjata yang bisa menghentikan gelombang amarah itu.
Ingatlah selalu Caligula, Louis XVI, Romanov, Ceausescu, Mussolini, Pahlavi, Marcos, Rajapaksa, Hasina, juga Soeharto, dan seluruh penguasa lalim lainnya. Saat mereka berkuasa, dunia dan negerinya seakan ada digenggamannya serta bisa berbuat apa saja. Tetapi sejarah menunjukkan, bahwa kebenaran, keadilan, dan kedaulatan rakyat tidak bisa dipermainkan. Selalu ada "harga" yang harus dibayar oleh para penguasa lalim dan korup.
Di Indonesia para penguasa suka meneriakkan slogan "NKRI Harga Mati", seringkali sebagai tameng pembenaran praktik politik lancung dan korupnya. Pelajaran dari unjuk rasa amarah rakyat di Pati adalah, jika telinga dan mata penguasa tertutup maka rakyat akan membukanya dengan paksa. Ingat, yang adil bakal disembah, yang lalim akan disanggah. NKRI Harga Pati, adalah indikasi dan konsekuensi yang perlu dibayar