Teknologi memainkan peran penting dalam mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon. Panel surya, misalnya, telah membawa listrik ke daerah terpencil di Indonesia seperti Kepulauan Mentawai dan Nusa Tenggara Timur. Sistem energi terbarukan dengan skala kecil membantu masyarakat menjalankan usaha mikro seperti penggilingan padi atau pendingin hasil laut tanpa bergantung pada genset berbahan bakar diesel.
Dalam berbagai forum internasional, teknologi kerap dipromosikan untuk menyikapi krisis iklim. Mulai dari kendaraan listrik, hingga solusi berbasis kecerdasan buatan dan geoengineering. Di tengah narasi yang menjanjikan, muncul pertanyaan yang tak bisa diabaikan: apakah teknologi hijau benar-benar solusi, atau justru hanya ilusi?
Inovasi di bidang pertanian mulai tumbuh. Beberapa petani milenial di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menggunakan aplikasi cuaca dan sensor tanah untuk menentukan waktu tanam yang lebih tepat, sehingga bisa mengurangi pemborosan air dan pupuk. Teknologi ini memberi harapan baru dalam menghadapi ketidakpastian iklim.
Namun, kemajuan teknologi tidak selalu datang tanpa dampak negatif. Kendaraan listrik yang kini mulai diperkenalkan secara luas, dari motor hingga bus kota di Jakarta, menyimpan ironi: sebagian besar sumber listriknya masih berasal dari batu bara. Baterainya mengandalkan nikel, yang ditambang secara masif di Sulawesi dan Maluku. Ekspansi tambang ini kerap merusak lingkungan, dan memicu konflik sosial.
Di sisi lain, program waste-to-energy yang mengubah sampah menjadi listrik sering digadang-gadang sebagai solusi dua masalah sekaligus: energi dan limbah. Namun implementasinya masih terbatas pada kota besar, dan menuai kritik karena berpotensi mendorong pembakaran sampah tanpa memilah, serta memperparah polusi udara jika tidak diawasi ketat.
Ada pula jebakan efisiensi yakni ketika teknologi yang membuat sesuatu menjadi lebih hemat justru mendorong konsumsi lebih banyak. AC hemat energi di kota-kota tropis justru digunakan lebih lama karena dianggap “ramah lingkungan”, tanpa memikirkan konsumsi energi total. Demikian juga penggunaan aplikasi kecerdasan buatan yang sangat membantu dalam pekerjaan namun membutuhkan energi tinggi.
Ketimpangan akses juga menjadi tantangan. Di daerah terpencil, sinyal internet masih terbatas, membuat pemanfaatan teknologi digital untuk adaptasi iklim belum bisa menjangkau semua kalangan. Sementara itu, proyek besar transisi energi cenderung berpusat di Jawa dan Sumatera, menyisakan wilayah timur dengan akses dan perhatian yang minim.
Jadi, apakah teknologi hijau merupakan harapan ataukah hanya ilusi?
Barangkali jawabannya bukan pada teknologi itu sendiri, tetapi pada cara pandang kita terhadapnya. Alih-alih menggantungkan harapan secara buta, kita perlu melihat teknologi sebagai alat bantu, bukan tujuan. Ia harus dipadukan dengan perubahan gaya hidup, kebijakan yang adil, dan, yang tak kalah penting, kebijaksanaan lokal yang sering terpinggirkan dalam wacana global.
Inovasi yang benar-benar hijau seharusnya tidak hanya efisien secara teknis, tetapi juga etis secara sosial dan ekologis. Teknologi yang baik bukan yang paling canggih, melainkan yang paling kontekstual—yang mengakar pada kebutuhan nyata, meminimalkan dampak, dan memperkuat ketahanan komunitas.
Dalam menghadapi krisis iklim, teknologi bisa menjadi jembatan. Namun arah jembatan itu tetap ditentukan oleh kompas nilai yang kita pegang.