“Malah Dengan Krisis Mereka Menjadi Bersih Dari Utang” (Bagian Kedua)

Segelintir orang menguasai aset yang begitu besar di Tanah Air. Kondisi ini tidak sejalan dengan semangat pendiri bangsa yang menginginkan kekayaan Bumi Pertiwi dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adakah pelanggaran Pasal 33 UUD 45?

Bincang Bhinneka Membahas Konglomerat

Peran BUMN pernah begitu kuat di Tanah Air dan menjadi sumber penerimaan negara melalui pajak yang dibayarkan. Namun perlahan peran mereka menyusut digantikan oleh swasta. Kini ekonomi Indonesia banyak dikuasai oleh segelintir elit konglomerat.

Bagaimana perubahan itu bisa terjadi, Bincang Bhinneka membahas masalah ini dengan menghadirkan ekonom senior Faisal Basri (FB) dalam sebuah dialog bersama budayawan sekaligus Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis (GBN) Erros Djarot (EDJ). Berikut bagian kedua dari seluruh perbicangan mengenai ekonomi Indonesia:

EDJ: Dari semua yang kita perbincangkan sudah cukup untuk rakyat berani mengatakan pasti ada penyebab dari disparitas yang besar, begitu juga dengan jurang kaya miskin yang begitu melebar, dan ada satu kelompok yang begitu besar kekayaannya.

Ini saya kaitkan dengan semua yang kita bicarakan, jangan-jangan semua ini gara-garanya, yang paling utama, pelaksanaan Pasal 33 UUD 45 gak pernah dijalankan, bahkan dilanggar. Kira-kira bagaimana mas?

FB: Kalau kita lihat tahun 1970-an dan 1980-an penerimaan pajak kita tinggi sekali dibandingkan sekarang. Pernah penerimaan pajak kita itu 27 persen dari kue ekonomi. Itu tinggi banget, mirip negara-negara Skandinavia.

EDJ: Maaf, tahun 70-an itu masih jaman Pak Harto [Presiden Soeharto] ya?

FB: Ya, karena kekayaan alam dikuasai, bisa dikatakan hampir semua oleh negara lewat BUMN. Pengusaha batu bara barangkali belum ada. Baru ada PT Bukti Asam di Sawahlunto, minyak 100 persen [dikuasai] Pertamina, asing hanya kontraktor.  Semua yang mengurus Pertamina. Timah ya PT Timah. Sawit, dulu belum ada [perusahaan] yang besar-besar itu, baru ada PTPN.

Jadi secara tidak langsung dikuasai oleh negara sehingga seluruh penerimaan dari sumber daya alam itu mayoritas masuk ke kas negara. Pajaknya naik. Nah, sekarang PTPN itu kecil dibandingkan dengan korporasi-korporasi swasta yang dahsyat, ada yang sampai jutaan hektare kepemilikannya itu, kan luar biasa.

Di tambang juga begitu. Di batu bara, PT Bukit Asam besar tapi ada yang lebih besar lagi yang konsesinya sampai 100.000 hektare. Kita tahu sebanyak 11 perusahan itu menguasai 70 persen dari batu bara.

EDJ: Mereka bukan pemerintah itu ya, bukan negara?

FB: Bukan. Ada swasta, nasional, ada sebagian dipegang oleh asing. Ada dari Thailand.

EDJ: Oke, stop di situ dulu. Jadi ini ada pelanggaran berat kalau menurut saya. Artinya, terjadi pemiskinan negara dan perampasan hak-hak rakyat. Negara itu kan milik rakyat. Sedangkan Pasal 33 dengan jelas mengatakan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ini kan tidak.

Sebagai seorang ekonom, walaupun bukan wilayahnya untuk bicara hukum, tapi paling tidak, setuju gak kalau mas Faisal bisa mengelaborasi bahwa memang terjadi perampasan oleh penyelenggara negara terhadap negara yang sebetulnya melakukan pelanggaran Pasal 33 UUD 45.  Bagaimana kira-kira?

FB: Dulu kan penguasa itu KKN jaman Pak Harto. KKN bagaimana? Proyek-proyek APBN diserahkan kepada swasta. Uang pemerintah waktu itu banyak dari hasil minyak. Konglomerat itu berawal dari proyek pemerintah, pengadaan [barang dan jasa] pemerintah.

Lama-lama APBN makin tidak mampu memberi fasilitas begini begitu. Apa ya yang membuat mereka tunduk kepada saya, kata penguasa itu. Kemudian mereka dipermudah pinjam dari bank-bank pemerintah, ini yang bikin kita krisis. Mereka garuk habis-habisan dari bank-bank pemerintah.

Sudah digaruk masih kurang juga, mereka dibolehkan punya bank. Kalau dulu mereka pinjam dari bank-bank BUMN, sehingga ada 4 bank BUMN mati, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Exim, Bank Dagang Negara, dan Bapindo. Sudah mati dihidupkan kembali, menjelma menjadi Bank Mandiri.

Tidak puas juga, kata mereka [konglomerat], perkenankan kami untuk langsung mengambil uang dari rakyat dengan cara bikin bank. Hampir semua konglomerat punya bank dan uangnya dari masyarakat, lantas uang masyarakat itu digunakan untuk bisnis kelompoknya. Maka muncullah yang namanya konglomerasi itu.

Nah sesudah itu kan krisis, mereka tidak bisa ugal-ugalan lagi. Bank Indonesia menjadi independen. Jadi bagaimana ya pola yang baru yang harus dikembangkan untuk mendapatkan pendanaan dari swasta atau kerja sama dengan swasta.

EDJ: Sebelum sampai ke situ, berarti harus melalui proses bantuan BLBI waktu krisis itu?

FB: Ya, nilainya Rp650 triliun.

EDJ: Makanya, apakah dengan gila-gilaan tadi membuat kita terpuruk dan mereka dalam keterpurukan ini, yang kita kenal dengan kasus BLBI. Mereka itu justru disubsidi, dikasih suntikan dana untuk bangkit lagi. Sebetulnya itu yang terjadi?

FB: Lebih parah dari itu. Di Thailand banyak pengusaha bunuh diri, di Korea bunuh diri, di Indonesia pesta pora. Dulu mereka [konglomerat] utangnya lebih besar dari kekayaannya. Katakan kekayaannya 1, utangnya 4. 4 banding 1.  Ada krisis utang mereka diambil oleh pemerintah, kredit busuknya diambil, ditaruh di BPPN, oleh BPPN waktu itu dijual kembali, dibeli oleh mereka cuma 10 sen untuk per 1 dolar AS, jadi sepersepuluhnya.

Mereka dulu utangnya 4, kekayaannya 1. Sekarang utangnya nol, kekayaannya 4. Jadi kaya banget sehingga sebetulnya mereka itu tidak pernah menderita, malah dengan krisis mereka menjadi bersih dari utang.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com