Pengamat Komunikasi Politik Jamiluddin Ritonga meminta Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon membatalkan penetapan 17 Oktober menjadi Hari Kebudayaan Nasional. Pasalnya tanggal tersebut bertepatan dengan hari ulang tahun atau ultah Presiden Prabowo Subianto.
Jamiluddin khawatir keputusan tersebut akan menimbulkan prasangka buruk masyarakat. Itulah sebabnya sebaiknya dicari tanggal lain yang lebih tepat dengan mempertimbangkan aspek keterkaitan peristiwa atau isu budaya.
Alasan Fadli Zon memilih tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional karena bertepatan dengan ditandatangani peraturan terkait lambang negara menurut Jamiluddin tidak tepat. Fadli Zon justru dinilai menggunakan pendekatan cocokologi dalam menentukan Hari Kebudayaan Nasional atau HKN.
“Karena itu, bisa saja masyarakat menilai Fadli Zon hanya menjadikan tanggal penandatangan PP tersebut sebagai justifikasi saja. Fadli Zon justru dinilai menggunakan pendekatan cocokologi, agar masyarakat dapat melihat kelogisan pemilihan tanggal HKN,” katanya.
Saat memberikan komentar yang dikutip pada Selasa 15 Juli 2025, dosen Universitas Esa Unggul Jakarta ini menyebut masih banyak tanggal atau hari lain yang lebih tepat dijadikan sebagai Hari Kebudayaan Nasional, seperti 20 Mei. Sehingga bersamaan dengan Hari Kebangkitan Nasional.
“Masih banyak tanggal yang bagus untuk dijadikan HKN. Misalnya, bisa saja HKN disamakan dengan Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada 20 Mei," ujarnya.
Bisa juga menurut Jamiluddin, Hari Kebudayaan Nasional disamakan dengan Hari Kebudayaan Dunia pada 21 Mei.
“Bisa juga HKN disamakan dengan Hari Kebudayaan Dunia yang jatuh pada 15 April. Bisa juga pada 21 Mei yang bersamaan memperingati Hari Keanekaragaman Budaya Dunia,” ungkap Jamiluddin.
Sebelumnya Menbud Fadli Zon menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional atau HKN. Fadli mengatakan penetapan ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang pentingnya pelestarian, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan.
"17 Oktober adalah momen penting dalam perjalanan identitas negara kita. Ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang masa depan kebudayaan Indonesia yang harus dirawat oleh seluruh anak bangsa," ujarnya.
Dalam keterangan tertulisnya, Selasa 15 Juli 2025, Fadli menerangkan tanggal 17 Oktober dipilih berdasarkan pertimbangan kebangsaan yang mendalam, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 1951 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo pada 17 Oktober 1951.
PP tersebut menetapkan Lambang Negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila, dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai bagian integral dari identitas bangsa.
"Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi filosofi hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman," ucap Fadli.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menambahkan PP Nomor 66 Tahun 1951 adalah tonggak sejarah ditetapkannya Garuda Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol resmi Indonesia.
"PP No. 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara merupakan tonggak sejarah penetapan Garuda Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol resmi Indonesia," imbuhnya.