Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait jumlah siswa per kelas dinilai telah merugikan sekolah swasta. Dedi mewajibkan SMA dan SMK negeri menerima siswa baru sebanyak 50 orang per kelas.
Akibatnya banyak sekolah swasta sulit mendapat murid. Bahkan beberapa terancam tutup alias bangkrut.
Seperti yang dialami SMA dan SMK Pasundan 2 Kota Tasikmalaya yang sampai saat ini baru menerima pendaftaran enam orang siswa. Kondisi ini sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu saat sekolah yang berlokasi di Jalan Liunggunung, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat ini menerima banyak siswa lantaran termasuk sekolah favorit.
Kepala Sekolah SMA dan SMK Pasundan 2 Tasikmalaya, Darus Darusman mengatakan kondisi sekolah yang dipimpinnya sangat terpuruk bahkan bahaya. Darus menyebut kondisi tersebut juga dialami sekolah swasta lainnya.
"Saya harus berani bicara sebagai Kepsek SMA dan SMK Pasundan 2 Tasikmalaya, bahwa tahun ini adalah tahun terpuruk sekali dan berbahaya bagi sekolah swasta," ujarnya.
Saat memberikan keterangan seperti dikutip dari Kompas pada Jumat 11 Juli 2025, Darus mengaku terpuruknya kondisi sekolah swasta tahun ini akibat kebijakan yang dibuat Gubernur Dedi Mulyadi.
"Seperti kami (Pasundan), meski sudah punya nama dan jaringan banyak di Jabar, tetap saja dengan kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi, terancam gulung tikar, bisa bangkrut. Yang daftar baru 6 orang saja," katanya.
Darus menuturkan, seharusnya gubernur dalam membuat keputusan jangan asal-asalan tanpa mempertimbangkan akibatnya bagi orang lain. Terlebih kebijakan itu tidak melalui pengkajian para ahli di bidangnya.
Darus pun berharap aturan jumlah siswa di sekolah negeri diubah menjadi maksimal 40 orang per kelas. Sehingga tidak mengganggu sekolah swasta dalam mendapatkan murid.
"Saya berharap dengan batasan per siswa di sekolah negeri 36 sampai 40 per kelas seperti dulu sangat baik bisa diberlakukan lagi dan tidak mengganggu sekolah swasta. Kalau masalah diterima di sekolah favorit itu kan hukum alam siswanya, apakah pintar, berprestasi, dan cerdas pasti masuk," ucapnya.
Darus menambahkan sistem zonasi dan afirmasi dalam penerimaan siswa baru di sekolah negeri juga turut mengancam sekolah swasta. Hampir semua sekolah swasta di Jawa Barat sangat keberatan dengan keputusan tersebut.
Gubernur Dedi Mulyadi menurut Darus seolah memutus rezeki para guru dan pengajar sekolah swasta yang bukan statusnya aparatur sipil negara atau ASN.
"Tapi, sekarang siapa saja bisa masuk, maaf ya. Ini sistem seperti apa ya? Kasihan yang berprestasi harus tes, tetapi zonasi serta afirmasi tidak usah tes langsung masuk ke sekolah favorit. Sekolah swasta terancam bangkrut lagi," ucapnya.
Darus berharap sistem penerimaan siswa baru di negeri dikembalikan ke hasil nilai ujian siswa dan hasil prestasinya sehingga diseleksi sesuai keahlian dan kecerdasannya seperti dulu. Menurutnya sekolah seharusnya diberdayakan untuk mencerdaskan generasi muda dan bukan justru dibuat terancam bangkrut.
"Mungkin tujuannya bagus ya, tetapi kan yang membuat keputusan tidak sadar juga sudah membuat bangkrut sekolah-sekolah swasta di Jawa Barat. Kami juga warga Jabar dan kami juga punya keluarga untuk dibiayai," kata dia.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membuat kebijakan SMA dan SMK negeri menerima maksimal 50 murid dalam satu kelas. Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 463.1/Kep/323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa Barat.
Dedi berdalih keputusan itu dibuat untuk menurunkan angka anak putus sekolah di Jawa Barat yang saat ini cukup tinggi. Dedi menyatakan kebijakan itu berlaku paling lama sampai Januari 2026 sambil menambah kelas-kelas baru di sekolah negeri.
Demi mendukung kebijakan tersebut, Pemprov Jawa Barat telah menyiapkan anggaran sebesar Rp100 miliar untuk menambah kelas di sekolah-sekolah negeri. Direncanakan jumlah kelas akan bertambah hingga mencapai 736 ruangan.